Powered By Blogger

Selamat Datang

Silahkan gunakan blog ini agar dapat bermanfaat

Selasa, 10 November 2009

Cerita Hikmah (2)

Suatu malam Nasrudin menghadiri pesta. Ia memakai pakaian yang nampak tua dan lusuh. Ketika ia hadir, tak seorangpun mau menyambutnya dan memberikan tempat duduk. Melihat kondisi seperti itu Nasrudin pulang ke rumah. Ia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang baru, lalu ia kembali ke tempat pesta itu. Tuan rumah dan para hadirin kini menyambutnya dengan gembira. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan sebagaimana tamu-tamu yang lain. Tapi Nasrudin justru meletakkan bajunya di atas hidangan seraya berkata, “hai baju baru, makanlah! Makanlah sepuasmu!”
Para undangan heran dan bertanya, “Hai Nasrudin, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?” Nasrudin menjawab, “Aku sedang menyuruh baju baruku makan hidangan ini sepuas-puasnya. Karena ketika aku datang dengan baju yang tua dan lusuh, tak seorangpun menyilakan aku duduk dan menawarkan hidangan. Sekarang, setelah aku datang dengan baju yang baru, aku mendapatkan tempat yang layak dan hidangan yang lezat. Jadi tuan rumah memberikan hidangan ini untuk baju baruku, bukan untukku” (dikutip dari buku humor sufi)
Masyarakat kita bahkan mungkin kita sendiri masih sering bersikap seperti ‘masyarakatnya’ Nasrudin, lebih menghargai dan menghormati orang – orang yang berpenampilan ‘wah’, (punya mobil mewah, rumah megah, pegang handphone canggih, baju bermerk, arloji mahal) dibanding orang – orang yang berpenampilan biasa saja.
Akhirnya sikap umum ini menjadi lingkaran setan dimana orang – orang pun akan merasa lebih PD (percaya diri), lebih dihormati, serta lebih dihargai jika memiliki dan memakai yang serba ‘wah’ itu. Sebagai karyawan Direktorat Jenderal Pajak secara strata sosial sebagian besar kita berada diatas rata – rata masyarakat umum, terutama setelah remunerasi yang diatas rata-rata pegawai negeri lainnya, walaupun sebetulnya kalau mau jujur bahwa masyarakat kita dari dulu sudah mempunyai stigma ‘sinis’ bahwa ‘orang pajak pasti kaya’, sehingga sekarang pun setelah gaji kita memang mungkin cukup untuk dikatakan ‘kaya’, stigma ‘sinis’ inipun masih sulit dihilangkan.
Menjadi masalah apabila kita terbawa dengan perilaku ‘masyarakatnya Nasrudin’, menjadi merasa terhormat jika memiliki kekayaan berlimpah dan memberi penghormatan lebih kepada rekan – rekan kerja yang serba ‘wah’, akhirnya kenaikan gaji yang jauh diatas pegawai negeri lainnya itupun menjadi tidak seberapa bagi kita dan juga mungkin rekan – rekan kerja kita, apalagi jika dibanding – bandingkan dengan ‘pendapatan dulu’.
Saatnya kita putus mata rantai lingkaran setan ‘masyarakatnya Nasruddin’, beri penghormatan lebih pada orang – orang dengan karya – karya nyata dan kita buktikan bahwa orang pajak telah berubah, perubahan kinerja dan perilaku kita bisa mengubah masa lalu yang menimbulkan stigma ‘sinis’ tersebut, kita bisa menjadi terhormat dengan karya – karya kita. Bahkan kitapun bisa menjawab pertanyaan di artikel sebelumnya, “bahwa memang kitalah pahlawan Indonesia itu”.

1 komentar:

  1. ceritanya bisa menjadi hikmah bagi kita,
    sangat menarik bro, mksih ya

    BalasHapus

Pengikut