Powered By Blogger

Selamat Datang

Silahkan gunakan blog ini agar dapat bermanfaat

Senin, 29 Maret 2010

Korupsi Pajak: Bukan Sebuah Pembelaan

Korupsi, menurut saya, hasil merangkum dari berbagai sumber, hakikatnya hanya terdiri dari 2 jenis, yaitu corruption by greed (korupsi karena memang serakah) dan corruption by need (korupsi karena tuntutan memenuhi kebutuhan hidup). Belakangan, DJP kembali menerima sorotan tajam atas perilaku “anggota keluarganya” yang membuat ulah dengan melakukan perbuatan yang diindikasikan bersifat koruptif. Mengapa hal ini, yang seharusnya setelah era modernisasi sudah dapat diminimalisasi dan telah diterapkan zero tollerance to corruption, tetapi masih saja terjadi? Apakah senekat itu seseorang menerobos pintu hukum yang telah jelas hukumannya? Sebagian besar tindakan koruptif di DJP, hanya bisa terjadi kalo ada kesepakatan 2 belah pihak untuk bertindak korupsi, yaitu Wajib Pajak dan Pegawai Pajak. Sangat sedikit kemungkinan atau kasus korupsi yang hanya dilakukan oleh satu pihak. Korupsi mungkin sudah menjadi budaya bagi sebagian anak bangsa ini. Dan budaya itu memang sudah seharusnya dikikis. Hubungannya dengan korupsi di tubuh DJP, DJP sudah sejak 2002 telah menggulirkan reformasi birokrasi dengann ditandai terbentuknya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar. Kalo ditelaah, indikasi perbuatan koruptif oleh oknum GT adalah dengan modus kesepakatan alias kongkalingkong dengan Wajib pajak untuk mengurangi besaran pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Jadi intinya, korupsi ini adalah, saya menyebutnya sebagai korupsi pra APBN. artinya, uang yang belum masuk ke kas negara dikurangi terlebih dahulu, dan beda dengan apa yang sering terjadi salah kaprah di masyarakat, bahkan grup yang dibuat di situs jejaring sosial bahwa uang pajak di korupsi atau ditilep oleh pegawai pajak. Intinya memang sama, merugikan negara, tapi tetap saja modusnya berbeda. Korupsi di institusi perpajakan kebanyakan bersifat pra APBN, bukan pasca APBN yang biasanya dilakukan oleh kementrian/lembaga berserta dinas-dinas di bawahnya. mereka tiap tahun mengajukan rencana anggaran, yg nota bene anggaran itu adalah uang hasil pajak. proyek-proyek yang dilakukan oleh tiap departemen lah modus tindak korupsi tersebut terjadi. Jadi memang, uangnya adalah uang dari APBN yang sudah benar-benar murni menjadi hak negara.
Kita tidak bisa menggeneralisasi suatu masalah walau kita tahu bahwa ini adalah dalah satu budaya yang kurang bagus masyarakat kita. Sebagai masyarakat pun, terutama para wajib Pajak yang telah merasakan arus modernisasi paham, bahwa DJP sudah berbenah ke arah yang lebih baik. Memang harus diakui, belum semua pegawai satu suara, satu tekad ingin berubah. Ada saja yang tidak suka, masih ingin "berbuat seperti dulu" dan hal itu sebenarnya sudah hukum alam. Adalah tugas masyarakat untuk memberikan semacam kontrol publik kepada lembaga sebesar DJP yang mempunyai tugas teramat berat selain tentunya kontrol internal DJP sendiri. Masyarakat Pajak juga diharapkan meningkat kesadaran sebagai Warga Negara yang tidak terlepas mempunyai kewajiban. Juga jangan sekali-kali menawarkan sesuatu kompensasi kepada para pegawai pajak karena kadar iman daan ketahanan mental pegawai pajak tidak sama dan masih dalam tahap pembenahan. Pemberian remunerasi adalah merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan integritas pegawai pajak walaupun bukan yang utama. tidak ada yang salah dengan sitem ini. Kita selalu menggembor-gemborkan tax allowance, tax ratio, dsb, tapi kita sering melupakan yang namanya tax collecting ratio. Hal yang terakhir inilah yang menyangut terutama terhadap kesejahteraan pegawai. ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi, prinsip bisnis. tapi manakala berkaitan dengan pajak, sepertinya sedikit terlupakan. Remunerasi juga berkaitan dengan sistem reward and punishment. tentu punishment untuk para pegawai pajak adalah sangat tegas manakala terjadi pelanggaran terhadap kode etik.
Kalau kita ingin menggeneralisasi masalah kasus Markus Pajak yang telah hangat, semua hal yang pernah terjadi di republik ini bisa kita generalisasi. contoh kecil dan sederhana, makin banyak di Indonesia dokter yang melakukan mal praktik terhadap pasiennya. Lalu, apa kita akan ramai-ramai memboikot dokter Indonesia? apalagi sekarang, untuk masuk FK, gak harus pinter alias lulus UMPTN. cukup punya uang sekian puluh atau ratus juta, bisa masuk FK. Kan tidak begitu. lantas kalau sakit, kita mau berobat kemana? Begitu pun pajak, suka atau tidak telah menjadi urat nadi APBN. sekitar 70% dana APBN berasal dari uang pajak. dana BOS, pembangunan jalan, pembangunan rumah sakit, gaji PNS, TNI, Polri dan lainnya adalah dibiayai oleh uang Pajak. Uang hasil pajak juga yang kelak digunakan untuk melakukan reformasi birokrasi di semua level departemen yang ada. Sehingga secara bertahap reformasi birokrasi di republik ini dapat berjalan. Analoginya, kalau dalam suatu rumah tangga, tentu rumah tangga yang sehat adalah rumah tangga yang mandiri, mempunyai sumber penghasilan sendiri. tidak mengutang atau mengandalkan warisan. apalagi gali lobang tutup lobang. denikian juga dengan negara. Kita ingin negara ini mandiri, mempunyai sumber pendanaan sendiri, yaitu pajak, tidak lagi berutang seperti waktu lampau. Kalau ada orang mengajak untuk tidak membayar pajak, perlu dipertanyakan lagi, apakah orang itu mengerti masalah pajak apa tidak. Tidak ada relevansinya. Kalau anda menanyakan kenapa jalan masih pada berlubang, silahkan tanya kepada Dinas PU terkit. Anda pertanyakan mengapa sekolah masih ada pungutan, padahal udah ada dana BOS? silahkan tanya dinas pendidikan. Dinas-dinas tersebut, melalui departmen masing-masing lah yang menggunakan dana APBN. Sangat-sangat lah naif menanyakan hal-hal seperti itu kepada instansi perpajakan, walaupun tidak bisa disalahkan karena sama-sama merupakan instansi pemerintah, karena setelah Wajib Pajak membayar pajak melalui bank dan atau kantor pos, DJP tidak mempunyai wewenang untuk mengatur penggunannya. DJP hanya bisa memantau jumlahnya saja yang akan dipetanggungjawabkan apakah nominal yang telah didapat sesuai target atau tidak.
Untuk penanganan pegawai yang masih membandel, memang tidak mudah mengatur 30 ribu lebih pegawai dengan tentunya isi kepala dengan jumlah yang sama. Jangankan mengatur 30 ribu orang, kadang-kadang, dalam 1 keluarga saja, misal punya 5 anak, ada saja anak yang suka membuat masalah, membuat malu keluarga. Apalagi instansi sebesar DJP. Hanya yang perlu ditekankan, walau tidak mudah, tapi kita tidak boleh menyerah. Seperti ada orang bijak bilang, kalau ada tikus masuk lumbung padi, cari tikusnya, bunuh, buang, lenyapkan. Jangan membakar lumbungnya. Pemahaman terus menerus, pembinaan mental dan ruhani yang berkesinambungan dapat diharapkan memperbaiki kualitas pegawai DJP, terutama bagi yang masih ingin mempertahankan kondisi "jaman dulu" atau malah ingin "nostalgia" lagi kembali lagi ke jaman dulu. Meamng, lagi-lagi seperti kata bijak, merubah diri menjadi lebih baik, banyak sekali godaanya. Semakin tinggi pohon, angin semakin kencang. Saya tidak menutup mata bahwa ada pegawai yang masih belum ingin berubh, namun juga jangan tutup mata bahwa masih banyak pihak di luar DJP yang masih ingin melakukan penghindaran pajak secara ilegal dan menggagalkan reformasi birokrasi, khusunya di DJP. semoga hal-hal ini dapat segera diperbaiki agar republik ini maju,dan jangan malah semakin terpuruk.

Jumat, 19 Maret 2010

Pengikut